Article Detail

Mengupas Puisi Karya Amir Hamzah dan Subagio Sastrowardoyo

MENGUPAS  PUISI KARYA AMIR HAMZAH

DAN SUBAGIO SASTROWARDOYO

 

Oleh : MG. Banon Fitri. W, M.Pd.

 

            Bagi orang yang menggeluti dunia sastra Indonesia, siapa yang belum mengenal Amir Hamzah dan Subagio Sastrowardoyo? Kehadiran sastrawan kondang Amir Hamzah dan  Subagio Sastrowardoyo dalam kancah sastra Indonesia semakin memperkaya khasanah karya sastra Indonesia. Tulisan  ini akan mengupas salah satu karya sastrawan-sastrawan kondang tersebut dalam perspektif kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

  1. 1.        Puisi Karya Amir Hamzah

            Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah adalah sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang sangat produktif. Karya-karyanya  sebagian besar berupa  puisi. Oleh sebab itu, beliau mendapat julukan Raja Penyair Angkatan Pujangga Baru.

Salah satu karya Amir Hamzah  berjudul Cempaka Mulia. Karya ini ditinjau dari kode sastra jelas berbentuk puisi yang terdiri dari enam bait. Setiap bait terdiri dari empat baris, kecuali pada bait ketiga, hanya terdiri dari tiga baris. Puisi ini sebagian bersajak sama (aaaa) dan sebagian lagi bersajak silang (abab). Secara garis besar, puisi ini menggambarkan kekaguman penyair pada bunga cempaka. Hal itu tampak sekali pada bait pertama yang berbunyi “ Kalau kulihat tuan, wahai, suma/ Kelopak terkembang harum terserak/ Hatiku layu sejuk segala/ Rasakan badan tiada dapat bergerak/”

Puisi ini juga menyiratkan budaya Indonesia (Melayu) bahwa  bunga cempaka (kamboja) biasa ditanam di kuburan. Penyair bertanya jika sudah meninggal nanti siapakah yang akan menanam bunga cempaka di atas kuburannya. Penyair berharap ada orang yang melestarikan bunga cempaka dengan menyebarkan bibit cempaka di kuburnya nanti.

Ada suasana romantis dalam puisi tersebut. Kode bahasa “Kamboja bunga rayuan”, “Hendaklah tuan menyebar bibit/ Barang sebiji di atas pangkuan/ Musyafir lata malang berakit” menunjukkan bahwa Amir Hamzah peka pada rasa romantis. Kata ‘musyafir” juga menyiratkan bahwa Amir Hamzah adalah seseorang yang sedang berpetualang jauh dari tanah kelahirannya. Hal ini sesuai dengan riwayat hidupnya bahwa Amir Hamzah pernah menuntut ilmu di Jawa, khususnya semasa SMA di kota Surakarta sekitar tahun 1930. Kode bahasa “musyafir lata malang berakit”,” musyafir hina” menunjukkan kerendahan hati penyairnya.

Dalam karya Kusangka, Amir Hamzah kembalimerajut kata-kata indahnya dalam bentuk puisi. Sama dengan puisi Cempaka Mulia, dalam puisi Kusangka, Amir Hamzah juga menggunakan persajakan aaaa dan abab. Keteraturan sajak atau rima ini menambah keindahan puisi Amir Hamzah. Bunyi di akhir baris sangat dominan di setiap bait. Sebagaimana karya Amir kebanyakan, selain dengan ciri khas kepujanggaannya yang seringkali menciptakan puisi-puisi romantis, ia juga lihai dalam hal permainan bunyi.

Makna yang terdapat dalam puisi Kusangka karya Amir Hamzah adalah sebuah penolakan penyair terhadap perempuan yang dalam puisi ini diganti dengan berbagai macam nama bunga.

Berbagai nama kembang itu meliputi: cempaka, teratai, melur dan mawar. Kesemua kembang itu sebenarnya ditunjukkan pengarang, barangkali untuk memberikan pengertian kepada pembaca bahwa si perempuan ini istimewa karena bisa disamakan dengan berbagai macam bunga yang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Dalam baris pertama bait pertama: kusangka cempaka kembang setangkai ini merupakan awal. Awal dari harapan pengarang bahwa si kembang(perempuan) ini baik-baik saja. Kemudian baris kedua,  rupanya melur telah diseri adalah berarti bahwa si kembang, yang dalam baris ini diwakili dengan melur, dan telah diseri, yang berarti telah dihisap madunya.

Hatiku remuk mengenangkan ini/ Wasangka was-was silih berganti

Bahwa hati si aku remuk karena mengetahui bahwa kekasihnya ini telah dihisap oleh kumbang (lelaki) lain. Hancur sehancur-hancurnya dan membuat si aku ini banyak prasangka yang bergantian mengisi hatinya. Bahwa ada prasangka buruk dan negatif terhadap kekasihnya ini memang karena si kekasih yang telah dinikmati oleh lelaki atau yang dalam puisi ini diganti dengan kumbang.

Kuharap cempaka baharu kembang/Belum tahu sinar matahari.....

Lalu si aku berharap seseorang yang lain, yang baru, yang tahu tentang kisah ini, tidak tergoda untuk melakukan hal sama dari yang pernah dilakukan seseorang yang dicintainya.belum tahu sinar matahari memiliki makna bahwa belum berpengalaman atau usianya masih kecil sehingga belum mendapatkan banyak pengalaman.

Rupanya teratai patah kelopak/ Dihinggapi kumbang berpuluh kali

Ini merupakan harapan si aku yang kandas karena tidak sesuai duga awal kepercayaannya kepada si kekasih. Si kekasih yang dalam baris ini diwakili atau diganti dengan teratai, harus takluk dari kumbang, dan kemudian dihinggapi kumbang berpuluh kali. Si kekasih telah dinodai kesuciannya berpuluh-puluh kali oleh para lelaki hidung belang. Padahal si aku sudah memberikan kepercayaannya kepada si kekasihnya.

Kupohonkan cempaka/Harum mula terserak........../Melati yang ada/Pandai tergelak.............

Kemudian si aku mencari kekasih lain, yang ia sebut sebagai cempaka. Cempaka ini memiliki keharuman yang terserak mula-mula. Mula-mula, si kekasih, si perempuan milik aku ini baik. Melati yang ada, kekasih yang sedang berada di sisinya, pandai tergelak, suka senyum, senang tertawa.

Bait berikutnya: Mimpiku seroja terapung di paya / Teratai putih awan angkasa...../

Rupanya mawar mengandung lumpur / Kaca piring bunga renungan.......

Mimpi si aku tentang kembang, tentang kekasih, tentang perempuan ini terapung, ada di awang-awang, atau hanya keinginan saja. Seorang yang berbudi baik dikira semula, ternyata penuh dengan keburukan yang sama sekali tak disangka-sangka. Ini membuat si aku merenung. Merenung dalam kaca piring.

Bait kelima berbunyi: igauanku subuh, impianku malam / kuntum cempaka putih bersih / kulihat kumbang keliling berlagu / kelopakmu terbuka menerima cembu

Makna yang terkandung dalam bait tersebut, bahwasanya si aku mengigau, bermimpi, setiap malam, bahkan sampai subuh, menginginkan seorang kekasih yang baik budinya, dan jujur dalam segala hal. Namun ternyata kekasihnya, si perempuan  yang dipercaya itu mudah tergoda oleh kumbang, lelaki lain-lain. Ia mudah sekali tergoda sehingga membuat si aku kecewa.

Kusangka hauri bertudung lingkup/Bulumata menyangga panah Asmara

Pada bait keenam di atas, pada puisi Kusangka karya Amir Hamzah, si aku masih dengan prasangka-prasangkanya tentang sang pujaan hati, tentang si kembang yang didamba-dambakan namun ternyata berkhianat, sehingga membuat si aku ini kecewa. Si aku kecewa karena menyangka kekasihnya ini seorang yang baik budi pekerti, jujur, dan sebagainya namun dengan teganya mudah sekali menerima tawaran dari kumbang, lelaki lain. Bait terakhir: rupanya merpati jangan dipetik / kalau dipetik menguku segera  memberi pengertian bahwa merpati adalah sepasang kekasih, dan jangan dipetik. Jangan dipetik karena sudah tidak sejalan lagi, tidak sehaluan lagi, bahwa si gadis dengan mudah menikung dengan lelaki lain. Kemudian kalau dipaksa juga, si aku akan melawan kepada orang yang memaksanya. Ia tidak mau lagi dengan si gadis yang sarinya sudah dihisap oleh berpuluh-puluh pemuda.

Tampak sekali bahwa Amir Hamzah masih mengagungkan budaya Timur tentang seorang perempuan (kekasih) hendaknya memegang teguh kesetiaan dan cinta kepada pasangannya. Berbeda dengan budaya Barat yang dengan mudah seorang perempuan (kekasih) berganti-ganti pasangan.

  1. 2.        Puisi Karya Subagio Sastrowardoyo

            Beralih dari Amir Hamzah, Subagio Sastrowardoyo merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang berbobot baik dalam karya puisi maupun karya cerpennya. Subagio Sastrowardoyo, sastrawan asli Madiun ini mulai berkiprah dalam dunia sastra sekitar tahun 1950. Puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dipandang mengandung filosofis yang tinggi.

            Salah satu karya Subagio yang berjudul Bulan Ruwah merupakan sebuah puisi yang bentuknya lebih individual, tidak mengangungkan keteraturan bentuk dan rima, namun sarat makna.

            Dari judulnya “Bulan Ruwah” pembaca bisa menginterpretasikan bahwa puisi ini berlatar budaya Jawa dan relegius. Sebab kata “Ruwah” merupakan salah satu bulan dalam penanggalan Jawa yang posisinya sebelum Poso (Puasa) atau bulan Ramadhan.

            Bait pertama puisi ini memberi gambaran bahwa tempat tinggal roh-roh itu 
terkotak-kotak atau terbagi dua oleh tembok yang tinggi _(Kubur kita terpisah 
dengan tembok tinggi)_. Pembagian itu didasarkan pada kepercayaan mereka 
semasa hidupnya akan Tuhan: satu kelompok orang ber-Tuhan, kelompok lain orang 
yang tidak ber-Tuhan _(Sebab aku punya Tuhan, dia orang kafir).

Bait kedua mengisahkan perjalanan roh yang sudah mencapai akhir zaman (Yaumulakir), dan apa yang mereka lakukan di akhir zaman itu, yaitu ‘berebut menyebut nama Allah’. Ungkapan ‘berebut’ di sini mengungkapkan salah satu sifat buruk manusia, yakni saling mendahului, mencari muka, mencariselamat. Suatu hal yang mengherankan di sini adalah wujud atau penampilan dan sifat roh-roh itu, yakni berupa _“kelelawar”// “dengan cicit suara kehausan darah”._ Kelelawar adalah binatang malam, yang mencari makan dengan leluasa justru di malam hari. Dapat dikatakan bahwa kelelawar di sini merupakan simbol kehidupan dan kuasa kegelapan. Apalagi kelelawar ini adalah kelelawar aneh yang ‘kehausan darah’. Makanan kelelawar biasa adalah buah-buahan, bukan daging dan darah. 
Dalam puisi ini, kelelawar yang kehausan darah menunjukkan sifat agresif 
manusia yang gemar saling membunuh, seolah-olah ‘haus darah,’ seperti Vampir, 
setan malam yang selalu kehausan darah. Dari bait kedua ini dapat disimpulkan 
bahwa roh-roh kaum ber-Tuhan _(yang berebut menyebut nama Tuhan)_ ini 
adalah roh-roh yang sangat buruk kelakuan dan penampilannya, yang sesungguhnya 
tidak berkenan di hadapan Tuhan karena suka membunuh.

Bait ketiga mengungkapkan pertanyaan reflektif filosofis manusia yang paling fundamental mengenai sosok Tuhan. Akan tetapi, sosok Tuhan yang ingin diketahui ini 
bukanlah sosok Tuhan seperti apa ada-Nya, melainkan Tuhan menurut kategori dan 
pengertian yang sudah dipatok dan dibatasi oleh pemikiran manusia. Karena 
itulah, pertanyaan-pertanyaan mengenai Tuhan itu sungguh-sungguh bersifat 
formalistik dan _human-centered_ atau berpusat pada manusia. Hal yang ditanyakan itupun bukan substansi melainkan periferi, bukan hakikat melainkan pinggiran. _(Tuhan....//Adakah kau Islam atau Kristen?//Adakah kitabmu: kor’an atau injil? Apakah bangsamu: seorang rus,
cina atau jawa?)._ Dalam refleksi teologis, pertanyaan-pertanyaan itu 
terlihat sangat konyol dan kekanak-kanakan. Perhatikan bahwa penyair menulis nama 
Kitab Suci secara tidak patut (menyalahi EYD), yaitu dengan huruf kecil. 
Terlihat jelas unsur sinisme dalam penyebutan ini. Terlihat jelas bahwa penyair 
tidak menghargai aspek ‘kebenaran formalitas,’ (misalnya adanya Kitab Suci) 
melainkan apakah umat beragama menjalankan isinya. (Hal ini berlaku pula dalam 
penulisan nama suku: rusia, cina, dan jawa. Bukankah di surga tidak ada 
batas-batas seperti itu? Tidak ada kaya-miskin, raja-hamba, pandai-pandir) .

Bait keempat merupakan argumentasi yang sudah disiapkan manusia untuk ‘menyerang’ Tuhan, jika Tuhan menjawab pertanyaan konyol yang diajukan dalam bait ketiga. Jika Tuhan itu orang Rusia, itu tidak mungin. Mengapa? Karena _(Orang rus itu komunis yang menghina nabi dan agama). _Apakah Dia orang Cina? Juga tidak mungkin. _(Orang Cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan)_. Apakah Dia orang Jawa? 
Pasti tidak juga. _(Orang Jawa malas sembahyang, dan gemar pada mistik)_. 
Jika semua pertanyaan yang cukup spesifik tersebut dijawab dengan “tidak!” maka 
perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan investigatif yang bersifat umum mengenai 
bahasa, warna kuliat, dan asal-Nya. _(Apakah bahasamu, apakah warna kulitmu, 
apakah asalmu?)._ Jika tidak juga menemukan jawaban, pertanyaan diarahkan 
pada sifat-sifat manusia, baik yang ‘saleh’ (_Apakah kau pakai peci dan sarung pelekat//atau telanjang seperti budak habsyi hitam pekat_) maupun yang dianggap ‘penuh dosa’ (---_atau seperti bintang pilem berpotret di kamar mandi?//antara tanda kurang: adakah dia punya 
Tuhan?_---). Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan dengan sangat serius 
dan dari sudut formalistik keagamaan bersifat hakiki _(Daftar tanya kita 
tandai dengan cakaran hitam seribu tangan)_.

Bait kelima mengemukakan sebuah antisipasi jika Tuhan ternyata tidak menjawab 
pertanyaan-pertanyaan itu. Manusia religius formal itu akan melakukan tindakan
yang sangat radikal, dimulai dari ‘mendesak’ atau memaksa Tuhan memberikan kepastian sampai menghancurkan ‘merubuhkan’ Tuhan yang dipandang sebagai ‘batu 
bisu’. Tindakan radikal itupun dilakukan sambil mengutuk Tuhan.

Bait keenam merupakan penyelesaian pokok masalah yang dikemukakan dalam puisi ini. Setelah Tuhan dihancurkan, manusia akan kembali dalam wujudnya yang menjijikkan: _(Kelelawar bercicit kehausan darah)_. Mereka akan kembali bergantung di dahan dan 
secara konyol, absurd, membayangkan tentang sorga dan Tuhan. Sorga dan Tuhan 
‘palsu’ yang dibayangkan manusia ini pun bukanlah sebuah tempat yang indah dan 
damai, melainkan sama buruk dan menjijikkan dengan wujud dan rupa manusia _(Kita 
kembali bergantung di dahan//dan bermimpi tentang sorga dan Tuhan//yang mirip 
rupa kita sejak semula: Kelelawar bercicit kehausan darah)_. Sebuah 
pemahaman tentang Tuhan yang tentu saja keliru.

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment